Tuesday, 7 January 2014

Asuhan Keperawatan Otitis Media Akut

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Otitis Media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, Antrummastoid dan sel – sel mastoid.
Telinga tengah adalah daerah yang dibatasi dengan dunia luar oleh gendang telinga. Daerah ini menghubungkan suara dengan alat pendengaran di telinga dalam. Selain itu di daerah ini terdapat saluran Eustachius yang menghubungkan telinga tengah dengan rongga hidung belakang dan tenggorokan bagian atas.
Guna saluran ini adalah:
-          Menjaga keseimbangan tekanan udara di dalam telinga dan menyesuaikannya dengan tekanan udara di dunia luar.
-          Mengalirkan sedikit lendir yang dihasilkan sel-sel yang melapisi telinga tengah ke bagian belakang hidung.
Banyak ahli membuat pembagian dan klasifikasi Otitis Media. Secara mudah, Otitis Media terbagi atas Otitis Media Supuratif dan Otitis Media Non Supuratif ( Otitis Media Serosa, Otitis Media Sekretoria, Otitis Media Musinosa, Otitis Media Efusi).
Masing – masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis, yaitu Otitis Media Supuratif Akut ( Otitis Media Akut atau OMA ) dan Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK).
Pembagian tersebuat dapat terlihat pada bagan berikut :
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibody. Otitis Media Akut (OMA) terjadi kibat factor pertahanan tubuh ini terganggu. Sumbatan tuba Eustachius merupakan factor penyebab utama dari Otitis Media. Karena fungsi tuba eustachius terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas atas, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena anatomi tuba Eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal.

B.     Tujuan Penulisan

a.      Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana asuhan keperawatan pada klien Otitis Media Akut.

b.    Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :
·         Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian pada klien dengan Otitis Media Akut
·         Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan Otitis Media Akut
·         Mampu membuat rencana keperawatan pada klien Otitis Media Akut
·         Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam asuhan keperawatan pada klien dengan Otitis Media Akut.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Anatomi Fisiologi
Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah dan dalam. Dalam perkembangannya telinga dalam merupakan organ yang pertama kali terbentuk mencapai konfingurasi dan ukuran dewasa pada trimester pertengahan kehamilan. Sedangkan telinga tengah dan luar belum terbentuk sempurna saat kelahiran, akan tumbuh terus dan berubah bentuk sampai pubertas.
1.      Telinga dalam
Labirin mulai berdiferensiasi pada akhir minggu ketiga dengan munculnya plakoda otik (auditori). Dalam waktu kurang dari satu minggu plakoda tersebut mengalami invaginasi membentuk lekuk pendengaran, kemudian berdilatasi membentuk suaru kantong, selanjutnya tumbuh menjadi vesikula auditorius. Suatu proses migrasi, pertumbuhan dan elongasi vesikula kemudian berlangsung dan segera membuat lipatan pada dinding kantong yang secara jelas memberi batas tiga divisi utama vesikula auditorius yaitu sakus dan duktus endolimfarikus, utrikulus dengan duktus semi sirkuler dan sakulus dengan duktus koklea. Dari utrikulus kemudian timbul tiga tonjolan mirip gelang. Lapisan membran yang jauh dari perifer gelang diserap meninggalkan tiga kanalis semisirkularis pada perifer gelang. Sakulus kemudian membentuk duktus koklearis berbenruk spiral.Secara filogenetik organ-organ akhir khusus berasal dari neuromast yang tidak terlapisi yang berkembang dalam kanalis semisirkularis untuk membentuk krista. Di dalam utrikulus dan sakulus membentuk makula dan dalam koklea membentuk organon koiti. Diferensiasi ini berlangsung dari minggu keenam sampai ke 10 fetus, pada saat itu hubungan definitive seperfi telinga orang dewasa telah siap.
2.      Telinga Luar dan Tengah
Ruang telinga tengah, mastoid, permukaan dalam membijana timpani dan tuba. Eustachius berasal dari kantong faring pertama. Perkembangan prgan ini dimulai pada minggu keempat dan berlanjut sampai minggu ke 30 fetus, kecuali pneumatisasi mastoid yang terus berkembang sampai pubertas.
Osikel berasal dari mesoderm celah brankial pertama dan kedua, kecuali basis stapes yang berasal dari kapsul otik. Osikel berkembang mulai minggu kedelapan sampai mencapai bentuk- komplet pada minggu ke 26 fetus.
Liang telinga luar berasal dari ektoderm celah brankial pertama. Membrana timpani mewakili membran penutup celah tersebut. Pada awalnya liang telinga luar tertutup sama sekali oleh suatu sumbatan jaringan padat, akan tetapi akan mengalami rekanalisasi.

B.     Definisi
Otitis Media Akut adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang disebabkan karena masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah. (Smeltzer. 2001).
Otitis Media Akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah. (Mansjoer, Arif. 2001).
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid yang biasanya disebabkan oleh bakteri atau virus yang terjadi kurang dari 3 minggu.
C.    Etiologi
a.       Disfungsi atau sumbatan tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media yang menyebabkan pertahanan tubuh pada silia mukosa tubaeustachius terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga akan terganggu
b.      ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), inflamasi jaringan di sekitarnya (misal : sinusitis, hipertrofi adenoid), atau reaksi alergi (misalkan rhinitisalergika). Pada anak-anak, makin sering terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya otitis media akut (OMA). Pada bayi, OMA dipermudah karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak horisontal.
c.       Bakteri - bakteri yang umum ditemukan sebagai mikroorganisme penyebab adalah Streptococcus peumoniae, Haemophylus influenza, Moraxella catarrhalis,dan bakteri piogenik lain, seperti Streptococcus hemolyticus, Staphylococcus aureus, E. coli, Pneumococcus vulgaris.
Seperti yang telah disebutkan diatas mengenai saluran tuba Eustachius pada anak dan bayi, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan mengapa pada anak dan bayi lebih sering mengalami OMA, yaitu :
1.      Sistem kekebalan tubuh anak yang masih dalam tahap perkembangan.
2.      Adenoid ( salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh ) pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid berdekatan dengan muara saluran Eustachius sehingga adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya saluran Eustachius. Selain itu adenoid sendiri dapat terinfeksi di mana infeksi tersebut kemudian menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.

D.    Manifestasi Klinis
Pada perjalan penyakit otitis media akut yang biasa, gejala yang timbul dalam beberapa hari berupa otalgia, demam, tidak enak menyeluruh dan kehilangan pendengaran. Pada bayi, gejalanya kurang dan dapat berupa iritabilitas, diare, muntah atau malise. Munculnya gejala klinik ini biasanya diawali oleh infeksi saluran nafas atas beberapa hari atau minggu sebelumnya.
Gejala klinis Otitis Media Akut ( OMA ) tergantung pada stadium penyakit dan umur pasien. Stadium Otitis Media Akut ( OMA ) berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah :
1.      Stadium oklusi tuba Eustachius
Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah. Kadang berwarna normal atau keruh pucat. Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar dibedakan dengan otitis media serosa akibat virus atau alergi.
2.      Stadium hiperemis ( Presupurasi )
Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat serosa sehingga sukar terlihat.


3.      Stadium supurasi
Membrana timpani menonjol ke arah telinga luar akibat edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani. Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan tidak berkurang, akan terjadi iskemia, tromboflebitis dan nekrosis mukosa serta submukosa. Nekrosis ini terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan kekuningan pada membran timpani. Di tempat ini akan terjadi ruptur.
4.      Stadium perforasi
Karena pemberian antibiotik yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Pasien yang semula gelisah menjadi tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.
5.      Stadium resolusi
Bila membran timpani tetap utuh maka perlahan-lahan akan normal kembali. Bila terjadi perforasi maka sekret akan berkurang dan mengering. Bila daya tahan tubuh baik dan virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan.
Otitis Media Akut ( OMA ) berubah menjadi Otitis Media Supuratif Subakut bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus - menerus atau hilang timbul lebih dari 3 minggu. Disebut Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) bila berlangsung lebih 1,5 atau 2 bulan. Dapat meninggalkan gejala sisa berupa Otitis Media Serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa perforasi.
Pada anak, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga dan suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada orang dewasa, didapatkan juga gangguan pendengaran berupa rasa penuh atau kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas otitis media anak adalah suhu tubuh yang tinggi ( > 39,5 derajat celsius), gelisah, sulit tidur, tiba-tiba menjerit saat tidur, diare, kejang, dan kadang-kadang memegang telinga yang sakit. Setelah terjadi ruptur membran tinmpani, suhu tubuh akan turun dan anak tertidur.

E.     Komplikasi
1.      Otitis Media Kronis
Merupakan suatu peradangan kronis selaput lendir telinga tengah dan mastoid dengan keluarnya cairan ( otorrhoe ) melalui kerusakan di gendang telinga sentral. Kadang-kadang sebagai akibat OMA yang tidak sembuh (lebih lama dari tiga minggu). Kadang-kadang penyakit ini merupakan suatu gangguan tersendiri, yaitu terjadi otore akibat infeksi dari luar melalui suatu kerusakan gendang telinga yang sudah ada sebelumnya. Gangguannya cenderung akan terus terulang kembali.
Otitis media kronik dengan kolesteatoma atau benjolan mutiara disebabkan oleh pertumbuhan kulit liang telinga atau lapisan epitel gendang telinga yang masuk ke telinga tengah atau mastoid.
2.      Perforasi gendang telinga
Suatu bentuk otitis media dapat menyebabkan kerusakan pada gendang telinga atau rangkaian tulang pendengaran. Perforasi gendang telinga sering berbentuk ginjal dan letaknya di kedua kuadran bawah. Suatu perforasi selaput gendang telinga disebut sentral bila dikeliling cacatnya masih ada gendang telinga. Suatu perforasi disebut marginal apabila sebagian cacatnya berbatasan dengan liang telinga. Melalui perforasi marginal, epitel kulit tumbuh ke dalam telinga tengah dan terbentuklah kolesteatoma.
Suatu perforasi gendang telinga hanya menambah resiko untuk terulangnya radang telinga tengah. Pada umumnya pasien dengan perforasi gendang telinga disarankan untuk mencegah masuknya air ke dalam telinga. Terutama sabun dan shampoo yang menurunkan tegangan permukaan, dapat mengakibatkan otore berulang.
3.      Timpanosklerosis
Timpanosklerosis kemungkinan besar disebabkan oleh radang telinga tengah berulang berkali - kali yang kadang - kadang berlangsung tanpa gejala. Setelah sembuh dari peradangan, akan mengendap garam kapur ( kalkzouten ) di gendang telinga, selaput lender promontorium, atau di selaput lendir di sekitar rangkaian tulang - tulang pendengaran. Endapan garam kapur di dalam jaringan ikat hyalin disebut timponosklerosis.


4.      Atrofi dan atelektasis
Karena tekanan rendah di dalam telinga tengah yang kronis, selain kolesteatoma, dapat pula strofi gendang telinga. Gendang telinga yang mengalami atrofi akan tertarik ke dalam akibat rendahnya tekanan dan lama - kelamaan timbul perlekatan ke dinding medial kavum timpani, sehingga terjadi atelektasis. Atelektasis dapat merusak tulang pada rangkaian tulang pendengaran.
5.      Mastoiditis akut
Mastoiditis merupakan suatu osteitis pada system sel mastoid. Di Indonesia, mastoiditis masih sering dijumpai kalau pemeliharaan kesehatan kurang baik. Hal ini dipandang sebagai komplikasi dari otitis media akut atau kronis. Gambaran klasik terdiri dari otitis media dengan edema perios dan kulit liang telinga, dengan akibat dinding belakang terdesak ke depan. Karena ada edema di belakang telinga setinggi antrum, kulit setempat menjadi tebal dan merah, sehingga daun telinga terdesak ke depan bawah. Ada nyeri tekan di tempat tersebut dan sering juga di ujung mastoid.
6.      Paresis dan paralisis n. Fasialis
Paresis n.fasialis kadang-kadang didapatkan karena adanya kolesteatoma di sekitar n.fasialis. saluran tulang n.fasialis rusak sehingga menekan saraf. Beberapa kali keadaan ini tampak sebagai komplikasi OMA.

F.     Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas (ISPA) yang disebabkan oleh bakteri, kemudian menyebar ke telinga tengah melewati tuba eustachius. Ketika bakteri memasuki tuba eustachius maka dapat menyebabkan infeksi dan terjadi pembengkakan, peradangan pada saluran tersebut.
Proses peradangan yang terjadi pada tuba eustachius menyebabkan stimulasi kelenjar minyak untuk menghasilkan sekret yang terkumpul di belakang membran timpani. Jika sekret bertambah banyak maka akan menyumbat saluran eustachius,sehingga pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang osikel ( maleus, incus, stapes ) yang menghubungkan telinga bagian dalam tidak dapat bergerak bebas.
Selain mengalami gangguan pendengaran, klien juga akan mengalami nyeri pada telinga. Otitis media akut (OMA) yang berlangsung selama lebih dari dua bulan dapat berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila faktor higiene kurang diperhatikan, terapi yang terlambat, pengobatan tidak adekuat, dan adanya daya tahan tubuh yang kurang baik.


G.    Pathway

Infeksi sekunder (ISPA)                     Trauma, benda asing
Bakteri streptococcus,
Hemophylus Influenza                        ruptur gendang telinga
                     
                                    Invasi bakteri

Infeksi telinga tengah
(kavum timpani, tuba eustachius)


Proses peradangan      peningkatan produksi     tekanan udara pd     pengobatan t’
                                    cairan serosa                   telinga tengah (-)      tuntas / episode
                                                                                                            berulang

Nyeri
 
nyeri                akumulasi cairan             retraksi membran      infeksi berlanjut
                        mukus dan serosa                    tympani           dpt sampai ke
                                                                                                telinga dalam

ruptur membran              hantaran suara/         terjadi erosi pd                        merusak tulang
tympani krn desakan      udara yg diterima     kanalis semi                 krn adanya epitel
   menurun                   sirkularis                      skuamosa didlm
                                                                   rongga telinga tengah
Ggn persepsi sensori pendengaran
 
            sekret keluar dan           Gg persepesi              pening/vertigo             tindakan operasi
            berbau tdk enak            sensori                       keseimb. Tbh               mastoidektomi
            (otorrhoe)                      pendengaran              menurun
Ggn konsep diri
Resiko infeksi
Resiko injury/ trauma
 
            Ggn body image                                             resiko injury/               resiko infeksi
                                                                                    trauma






H.    Penatalaksanaan
Terapi tergantung pada penyebab bakteria penyakit dan pada hasil uji kerentanan antibakteria. Organisme penginfeksi yang paling lazim pada otitis media akut adalah Streptococcus pneumoniae . Dua patogen utama berikutnya adalah Haemophillus inflenzae tetapi tidak dapat ditipe dan Moraxella catharralis. Berbagai bakteria lain menyebabkan sebagian kecil sisa infeksi.
Ini dapat meliputi bakteria gram-positif maupun gram-negatif. Pada neonatus umur di atas 2 minggu, S. pneumoniae dan H. Influanzae terus merupakan organisme penginfeksi yang paling lazim. Namun, pada bayi umur kurang dari 2 minggu atau mereka yang masih dirawat inap, bakteri gram-negatif, Staphylococcus aureus , dan Streptococcus grup B menjadi lebih lazim.
Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik.
Stadium Oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,25 % untuk anak < 12 tahun atau HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologis untuk anak diatas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi lokal harus diobati. Antibiotik diberikan bila penyebabnya kuman.
Stadium Presupurasi
Diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Bila membran timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.
Stadium Supurasi
Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi rupture.


Stadium Perforasi
Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.
Stadium Resolusi
Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila tetap, mungkin telah terjadi mastoiditis.
Amoksisilin oral adalah pilihan awal bila organisme penyebab belum diketahui karena biasanya efektif terhadap bakteri yang paling lazim ditemukan. Obat ini diberikan 40 mg/kg/24 jam tiga kali sehari selama 10 hari. Namun, hampir semua M. Catharralis dan 25% H.influenzae resisten terhadap amoksisilin. Lagipula, makin bertambahnya insiden resisten penisilin telah ditemukan pada S.pneumoniae, dan S.pneumoniae resisten yang bermuktiplikasi telah diidentifikasi di seluruh dunia. Ada juga kekhawatiran karena semakin bertambahnya insiden S.pneumoniae resisten bermiltiplikasi akibat sering mneggunakan antibiotik pada anak berkontak fisik dekat,seperti pada pusat perawatan anak. Karenanya pada peda penderita yang baru minum amoksisilin atau yang hidup di daerah dengan insiden resisten yang ditengahi β-laktamase tinggi, ada berbagai antibiotik lain yang tersedia untuk mengobati otitis media akut pada anak. Agen ini bervariasi dalam kemanjuran untuk setiap bakteri juga dalam rasa maupun harga.
Jika otitis media tidak tampak berespons terhadap antibiotik, adalah beralasan untuk memindah ke kelas obat yang lain. Jika ada penjelekan klinis atau jika ada kemungkinan organisme persisten (penderita imunosupresi, berkali – kali mendapat antibiotik sebelumnya) harus dilakukan timpanosentesis unruk mengidentifikasi organisme penginfeksi.
Bila organisme yang resisten dibiakkan dari aspirat telinga tengah atau dari otorea, atau bila penderita gagal membaik secara klinis sesudah pengobatan amoksisilin awal (mungkin karena bakteri resisten ampisilin) dan jika timpanosentesisi atau miringotomi tidak dilakukan, agen antibiotik awal hatus diganti. Pilihan yang tepat dapat berupa eritromisin (50 mg/kg/24 jam) bersama dengan sulfonamid (100 mg/kg/24 jam trisulfa atau 150 mg/kg/24 jam sulfisoksazol) empat kali sehari. Trimetoprim-sulfametoksazol (8 dan 40 mg/kg/24 jam) dua kali sehari sefaklor (40 mg/kg/24 jam) tiga kali sehari, amoksisilin-klavulanat (40 mg/kg/24 jam) tiga kali sehari, sefuroksim aksetil (125-250 mg/kg/24 jam) dua kali sehari, atau sefiksim (8 mg/kg/24 jam) sekali atau dua kali sehari.
Jika penderita alergi terhadap penisilin, kombinasi eritromisin oral dan tripel sulfonamid atau sulfisoksazol merupakan alternatif. Gabungan trimetoprim-sulfametoksazol merupakan dapat juga diberikan pada mulanya pada individu sensitif penisilin, tetapi keefektifannya dalam mengobati potitis media kaut yang disebabkan oleh Staphylococcus pyogenes dan strain resisten S.pneumoniae adalah belum pasti. Kombinasi sulfonamid mempunyai angka efek samping yang amat merugikan, yang pada kesempatan yang jarang adalahserius dan bahkan mematikan. Pemberian sefaktor telah mengakibatkan reaksi tipe penyakit serum.
Terapi suportif tambahan, termasuk analgesik, antipiretik, dan panas lokal, biasanya membantu. Meperidin hidroklorida dapat juga diperlukan sedasi. Dekongestan oral, misalnya pseudoefedrin hidrolorida, dapat melegakan kongesti hidung dan antihistamin dapat membantu penderita dengan alergi hidung yang diketahui atau yang dicurigai. Namun kemanjuran antihistamin dan dekongestan pada pengobatan otitis media akut belum ditegakkan.
Pada penderita dengan nyeri telinga berat yang luar biasa, miringotomi dapat dilakukan pada mulanya untuk memberi kelegaan segera. Bila drainase terapeutik diperlukan, pisau miringotomi harus digunakan dan insisi dibuat cukup besar untuk memungkinakan drainase telinga tengah yang cukup.
Jika manifestasi klinis infeksi akut penderita bertambah selama 24 jam pertama meskipun dengan terapi antibiotik harus dicurigai infeksi bersama seperti meningitis atau komplikasi otitis media supuratifa. Anak harus diperiksa ulang dan timpanosentetis serta miringotommi dilakukan. Sama halnya jika penderita berlanjut menderita nyeri, demam, atau keduanya yang lumayan sesudah 24-48 jam, timpanosentesis dan miringotomi harus dilakukan sebagai prosedur diagnostik dan terapeutik ; identifikasi organisme yang sering  resisten dalam masyarakat harus diberikan.
Semua penderita harus dievaluasi ulang sekitar 2 minggu sesudah pemberian pengobatan, pada saat ini harus ada bukti penyembuhan otoskopik, seperti pengurangan radang dan pengembalian mobilitas membrana timpani. Pemantauan periodik terindikasi pada penderita yang telah mengalami episode kumat.


Miringotomi
Miringitomi adalah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani agar terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke telinga luar. Tindakan bedah kecil ini harus dilakukan a vue (lihat langsung), pasien harus tenang dan dikuasai. Lokasi insisi di kuadran posterior inferior.
Operator harus memakai lampu kepala dengan sinar yang cukup terang, corong telinga yang sesuai, serta pisau : parasentesis yang kecil dan steril. Dianjurkan untuk melakukannya dengan narkosis umum dan memakai mikroskop. Bila pasien mendapat terapi yang adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali bila jelas tampak adanya nanah di telinga tengah.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan akibat trauma liang telinga luar, dislokasi tulang pendengaran, trauma pada fenestra rotundum, trauma nervus fasialis, dan trauma pada bulbus jugular.

Pencegahan :
-          Beberapa hal yang dapat mengurangi risiko OMA adalah:
-          Pencegahan ISPA pada bayi dan anak-anak
-          Pemberian ASI minimal selama 6 bulan
-          Berikan vaksinasi teratur
-          Berikan makanan sehat, cukup dan bergizi.
-          Jaga sanitasi lingkungan.


I.       Pemeriksaan Diagnostik
Umum : Melihat keadaan pasien apakah pasien dalam keadaan sadar atautidak. Melakukan pemeriksaan tanda vital, seperti tekanan darah, suhu, nadi, frekuensi pernapasan.
Pemeriksaan telinga : alat yang diperlukan adalah lampu kepala, corong telinga, otoskop, pelit kapas, pengait serumen, pinset telinga dan garputala.
Pasien duduk dengan posisi badan congdong sedikit ke depan dan kepala lebih tinggi sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga dan membran timpani.
Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk telinga, daerah belakang daun telinga (retro-aurikular) apakah terdapat peradangan atau sikatriks bekas operasi. Dengan menarik daun telinga ke atas dan ke belakang, liang telinga menjadi lebih lurus dan akan mempermudah untuk melihat keadaan liang telinga dan membran tympani. Otoskop dipegang dengan tangan kanan untuk memeriksa telinga kanan pasien dan tangan kiri bila memeriksa telinga kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang ototskop ditekan pada pipi pasien.
Bila terdapat serumen dalam liang telinga yang menyumbat maka serumen ini harus dikeluarkan. Jika konsistensinya cair dapat dengan kapas yang diliatkan, bila konsistensinya lunak dapat dikeluarkan dangan pengait.  Jika serumen ini sangat keras dan menyumbat seluruh liang telinga maka lebih diencerkan dulu dengan minyak.

Uji pendengaran : dilakukan dengan memakai garputala dan hasil dari pemeriksaan dapat diketahui jenis ketulian apakah tuli konduktif atau tuli perseptif.
Uji Rinne  : dilakukan dengan menggetarkan garputala 512 Hz dengan jari atau mengetukkannya pada siku atau lutut pemeriksa. Kaki garputala tersebut diletakkan pada tulang mastoid telinga yang diperiksa selama 2-3 detik. Kemudian dipindahkan ke depan liang telinga selama 2-3 detik ditempat mana yang lebih keras. Bila bunyi terdengar lebih keras bila garputala diletakkan didepan liang telinga berarti telinga yang diperiksa normal atau menderita tuli sensorineural. Keadan seperti ini disebut tes Rinne (+). Bila bunyi yang terdengar lebih keras ditulang mastoid, maka telinga yang diperfiksa menderita tuli konduktif dan biasanya lebih dari 20 dB. Keadaan ini disebut tes Rinne (-).
Uji weber : dilakukan dengan meletakkan kaki pelana yang telah digetarkan pada garis tengah wajah atau kepala. Ditanyakan pada pasien di telinga mana yang terdengar lebih keras. Pada keadaan normal pasien mendengar suara ditengah atau tidak dapat membedakan telinga mana yang mendegar lebih keras. Bila pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sehat (lateralisasi ke telinga yang sehat) berarti telinga yang sakit menderita tuli sensorineural. Telinga yang sakit lateralisasi ke telinga yang sakit berarti telinga yang sakit menderita tuli konduktif.





Penunjang :
Timpanometri
Audiometri hambatan telah dianggap semakin penting artinya dalam rangkaian pemeriksaan audiologi. Timpanometri merupakan alat pengukur tak langsung dari kelenturan (gerakan) membrana timpani dan sistem osikular dalam berbagai kondisi tekanan positif, normal, atau negatif. Energi akustik tinggi dihantarkan pada telinga melalui suatu tabung bersumbat, sebagian diabsorpsi dan sisanya dipantulkan kembali ke kanalis dan dikumpulkan oleh saluran kedua dari tabung tersebut. Satu alat pengukur pada telinga normal memperlihatkan bahwa besar energi yang dipantulkan tersebut lebih kecil dari energi insiden. Sebaliknya bila telinga terisi cairan, atau bila gendang telinga menebal, atau sistem osikular menjadi kaku, maka energi yang dipantulkan akan lebih besar dari telinga normal. Dengan demikian jumlah energi yang dipantulkan makin setara dengan energi insiden. Hubungan ini digunakan sebagai sarana pnegukur kelenturan.
Timpanogram adalah suatu penyajian berbentuk grafik dari kelenturan relatif sistem timpanoosikular sementara tekanan udara liang telinga diubah – ubah. Kelenturan maksimal diperoleh pada tekanan udara normal dan berkurang jika tekanan udara ditingkatkan atau diturunkan.
Audiometri Nada Murni
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer dan hasil pencatatanya disebut sebagai audiogram. Dapat dilakukan pada anak berusia lebih dari 4 tahun yang koperatif. Sebagai sumber suara digunakan nada murni yaitu bunyi yang hanya terdiri dari 1frekuensi. Pemeriksan dilakukan di ruang kedap suara, dengan menilai hantaran suara melalui udara (air conduction) melalui headphone pada frekuensi 125, 250,5000,1000,2000,4000, dan 8000 Hz. Hantaran suara melalui tulang (bone conduction) diperiksa dengan memasang bone vibrator pada prosesus mastoid yang dilakukan pada frekuensi 500,1000,2000,4000 Hz. Intesitas yang biasa digunakan antara 10-100 dB secara bergantian pada kedua telinga. Suara dengan intensitas terendah yang dapat didengar dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat ketulian.




BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian
1.      Anamnesa
Anamnesis dimulai dengan menanyakan identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga. Kemudian kita menanyakan tentang penyakit yang berhubungan pada kasus. Pada kasus ottitis media akut sakit telinganya muncul disebabkan oleh apa? Apakah sering korek telinga? Biasanya pada anak didahuli dengan gejala ISPA, kita juga perlu menanyakan bagaimana  sifat dan beratnya keluhan yang disampaikan pasien kepada dokter. Kapan dan bagaimana mulanya, bagaimana perjalanannya (bertambah, berkurang, tetap, terjadi sebentar-sebeh, berkurang, tetap, terjadi sebentar-sebentar, naik-turun), berapa lamanya (akut, subakut, kronis), dan bagaimana frekuensinya. Kemudian dicari keterangan tentang keluhan dan gejala lain yang terkait.
Setelah itu, pasien ditanyakan mengenai keluhan pada telinga :
-          Kurang pendengaran : kanan atau kiri, nada tinggi atau nada rendah atau seluruh nada, mengerti pembicaraan, lebih terganggu di tempat sunyi atau di tempat ramai, kelainan kongenital, masalah kehamilan, masalah perinatal, hubungan keluarga, eksposisi-suara, pemakaian obat-obat ototoksik, trauma kapitis, radang telinga, meningitis, penyakit lain (gondongan, campak, influenza).
-          Nyeri telinga : kanan atau kiri, dalam atau sekitar telinga, rasa tertekan, gatal.
-          Cairan yang keluar : kanan atau kiri, aspek (serosa, mucus, purulen, berdarah), jumlahnya, penyebab, berbau.
-          Telinga berdenging : kanan atau kiri, nada tinggi atau rendah, sinkron dengan denyut nadi. Akhirnya, selalu ditanyakan kemungkinan penyakit lain yang diderita pasien, pemakaian obat-obatan, penyakit yang lalu, pembedahan.






B.     Diagnosa Keperawatan
1.      Nyeri b/d proses peradangan pada telinga
2.      Resiko infeksi b/d tidak adekuatnya pengobatan
3.      Resiko injury b/d keseimbangan tubuh menurun
4.      Gangguan persepsi sensori pendengaran b/d gangguan penghantaran bunyi pada organ pendengaran
5.      Gangguan konsep diri b/d sekret yang keluar dan berbau

C.    Intervention
1.      Dx. 1 Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Intervensi :
-     Beri posisi nyaman, dengan posisi nyaman dapat mengurangi nyeri.
-     Kompres panas di telinga bagian luar, untuk mengurangi nyeri.
-     Kompres dingin, untuk mengurangi tekanan telinga (edema)
-     Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik
-     Alihkan perhatian klien dengan menggunakan teknik – teknik relaksasi : distraksi, imajinasi terbimbing, touching, dll.
-     Kaji kembali nyeri yang dirasa oleh klien setelah 30 menit pemberian analgetik 

2.      Dx. 2 Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan
Tujuan : Tidak terjadi tanda - tanda infeksi.
Intervensi :           
-     Kaji tanda - tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo, untuk mengantisipasi perluasan lebih lanjut.
-     Jaga kebersihan pada daerah liang telinga, untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme.
-     Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa atau terlalu keras (sisi), untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke telinga tengah.
-     Kolaborasi pemberian antibiotik.



3.      Dx. 3 Resiko injury berhubungan dengan keseimbangan tubuh menurun
Tujuan : Tidak terjadi injury atau perlukaan
Intervensi :
-     Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan, meminimalkan anak agar tidak jatuh
-     Pasang restraint pada sisi tempat tidur, meminimalkan agar klien tidak jatuh.
-     Jaga klien saat beraktivitas, meminimalkan agar klien tidak jatuh.
-     Tempatkan perabot teratur, meminimalkan agar klien tidak terluka.

4.      Dx. 4 Gangguan persepsi sensori pendengaran b/d Gangguan penghantaran bunyi pada organ pendengaran.
Tujuan : Persepsi sensori baik, memperbaiki komunikasi
Intervensi :
-     Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat
-     Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman dalam perawatan telinga (seperti : saat membersihkan dengan menggunakan cutton bud  secara hati-hati, sementara waktu hindari berenang ataupun kejadian ISPA) sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.
-     Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut.
-     Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).

5.      Dx. 5 Gangguan konsep diri b/d sekret yang keluar dan berbau.
Tujuan : pengeluaran sekret berhenti
Intervensi :
-     Masukkan tampon yang mengandung antibiotik kedalam liang telinga
-     Berikan kompres rivanol
-     Lakukan irigasi telinga dan keluarkan serumen atau sekret
-     Hindari kritik negatif
-     Berikan informasi yang adekuat kepada klien.




BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid yang biasanya disebabkan oleh bakteri atau virus yang terjadi kurang dari 3 minggu.
Penyebab utama dari OMA adalah tersumbatnya saluran atau tuba eustachius yang bisa disebabkan oleh proses peradangan akibat infeksi bakteri yang masuk ke dalam tuba eustachius tersebut, kejadian ISPA yang berulang pada anak juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya OMA pada anak.
Stadium OMA dapat terbagi menjadi lima stadium, antara lain : Stadium Oklusi, Presupurasi, Supurasi, Perforasi, dan Stadium Resolusi. Dimana manifestasi dari OMA juga tergantung pada letak stadium yang dialami oleh klien. Terapi dari OMA juga berdasar pada stadium yang dialami klien. Dari perjalanan penyakit OMA, dapat muncul beberapa masalah keperawatan yang dialami oleh klien, antara lain : nyeri, resiko infeksi, resiko injury, gangguan persepsi sensori, dan gangguan konsep diri.

B.     Saran
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan belum mencapai seluruh aspek. Oleh karena itu kami menyarankan agar pembaca dapat mencari reverensi – reverensi dari buku – buku lain yang juga mendukung dalam Asuhan Keperawatan pada Otitis Media Akut ini.



DAFTAR PUSTAKA

-          Betz, Cecily L. Buku Saku Keperawatan Pediatri edisi 3, Jakarta. EGC. 2002
-         Ludman, Harold, MB, FRCS. Petunjuk Penting pada Penyakit THT. Jakarta. Hipokrates. 1996
-          Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta. EGC. 2001

No comments:

Post a Comment