BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Otitis Media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, Antrummastoid dan sel – sel mastoid.
Telinga tengah adalah daerah yang dibatasi dengan dunia luar
oleh gendang telinga. Daerah ini menghubungkan suara dengan alat pendengaran di
telinga dalam. Selain itu di daerah ini terdapat saluran Eustachius yang
menghubungkan telinga tengah dengan rongga hidung belakang dan tenggorokan
bagian atas.
Guna saluran ini adalah:
-
Menjaga
keseimbangan tekanan udara di dalam telinga dan menyesuaikannya dengan tekanan
udara di dunia luar.
-
Mengalirkan
sedikit lendir yang dihasilkan sel-sel yang melapisi telinga tengah ke bagian
belakang hidung.
Banyak
ahli membuat pembagian dan klasifikasi Otitis Media. Secara mudah, Otitis Media
terbagi atas Otitis Media Supuratif dan Otitis Media Non Supuratif ( Otitis
Media Serosa, Otitis Media Sekretoria, Otitis Media Musinosa, Otitis Media
Efusi).
Masing
– masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis, yaitu Otitis Media
Supuratif Akut ( Otitis Media Akut atau OMA ) dan Otitis Media Supuratif Kronis
(OMSK).
Pembagian
tersebuat dapat terlihat pada bagan berikut :
Telinga
tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring.
Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam
telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibody. Otitis
Media Akut (OMA) terjadi kibat factor pertahanan tubuh ini terganggu. Sumbatan
tuba Eustachius merupakan factor penyebab utama dari Otitis Media. Karena
fungsi tuba eustachius terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah
dan terjadi peradangan. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran
napas atas, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA
dipermudah oleh karena anatomi tuba Eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya
agak horizontal.
B. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan
gambaran dan mengetahui tentang bagaimana asuhan keperawatan pada klien Otitis
Media Akut.
b.
Tujuan Khusus
Diharapkan
mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :
·
Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian pada
klien dengan Otitis Media Akut
·
Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien
dengan Otitis Media Akut
·
Mampu membuat rencana keperawatan pada klien Otitis
Media Akut
·
Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat
dalam asuhan keperawatan pada klien dengan Otitis Media Akut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Anatomi Fisiologi
Secara
anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah dan
dalam. Dalam perkembangannya telinga dalam merupakan organ yang pertama kali
terbentuk mencapai konfingurasi dan ukuran dewasa pada trimester pertengahan
kehamilan. Sedangkan telinga tengah dan luar belum terbentuk sempurna saat
kelahiran, akan tumbuh terus dan berubah bentuk sampai pubertas.
1.
Telinga dalam
Labirin mulai berdiferensiasi pada akhir minggu ketiga dengan munculnya
plakoda otik (auditori). Dalam waktu kurang dari satu minggu plakoda tersebut
mengalami invaginasi membentuk lekuk pendengaran, kemudian berdilatasi
membentuk suaru kantong, selanjutnya tumbuh menjadi vesikula auditorius. Suatu
proses migrasi, pertumbuhan dan elongasi vesikula kemudian berlangsung dan
segera membuat lipatan pada dinding kantong yang secara jelas memberi batas
tiga divisi utama vesikula auditorius yaitu sakus dan duktus endolimfarikus,
utrikulus dengan duktus semi sirkuler dan sakulus dengan duktus koklea. Dari
utrikulus kemudian timbul tiga tonjolan mirip gelang. Lapisan membran yang jauh
dari perifer gelang diserap meninggalkan tiga kanalis semisirkularis pada
perifer gelang. Sakulus kemudian membentuk duktus koklearis berbenruk
spiral.Secara filogenetik organ-organ akhir khusus berasal dari neuromast yang
tidak terlapisi yang berkembang dalam kanalis semisirkularis untuk membentuk
krista. Di dalam utrikulus dan sakulus membentuk makula dan dalam koklea
membentuk organon koiti. Diferensiasi ini berlangsung dari minggu keenam sampai
ke 10 fetus, pada saat itu hubungan definitive seperfi telinga orang dewasa
telah siap.
2.
Telinga Luar dan Tengah
Ruang telinga tengah, mastoid, permukaan dalam membijana timpani dan tuba.
Eustachius berasal dari kantong faring pertama. Perkembangan prgan ini dimulai
pada minggu keempat dan berlanjut sampai minggu ke 30 fetus, kecuali
pneumatisasi mastoid yang terus berkembang sampai pubertas.
Osikel berasal dari mesoderm celah brankial pertama dan kedua, kecuali
basis stapes yang berasal dari kapsul otik. Osikel berkembang mulai minggu
kedelapan sampai mencapai bentuk- komplet pada minggu ke 26 fetus.
Liang telinga luar berasal dari ektoderm celah brankial pertama. Membrana
timpani mewakili membran penutup celah tersebut. Pada awalnya liang telinga
luar tertutup sama sekali oleh suatu sumbatan jaringan padat, akan tetapi akan
mengalami rekanalisasi.
B. Definisi
Otitis Media
Akut adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang disebabkan karena masuknya
bakteri patogenik ke dalam telinga tengah. (Smeltzer. 2001).
Otitis Media
Akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah.
(Mansjoer, Arif. 2001).
Otitis media adalah peradangan
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid
yang biasanya disebabkan oleh bakteri atau virus yang terjadi kurang dari 3
minggu.
C. Etiologi
a.
Disfungsi atau sumbatan tuba eustachius merupakan
penyebab utama dari otitis media yang menyebabkan pertahanan tubuh pada silia
mukosa tubaeustachius terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam
telinga tengah juga akan terganggu
b.
ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), inflamasi
jaringan di sekitarnya (misal : sinusitis, hipertrofi adenoid), atau reaksi
alergi (misalkan rhinitisalergika). Pada anak-anak, makin sering terserang
ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya otitis media akut (OMA). Pada bayi,
OMA dipermudah karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya
agak horisontal.
c.
Bakteri - bakteri yang umum ditemukan sebagai
mikroorganisme penyebab adalah Streptococcus peumoniae, Haemophylus influenza,
Moraxella catarrhalis,dan bakteri piogenik lain, seperti Streptococcus
hemolyticus, Staphylococcus aureus, E. coli, Pneumococcus vulgaris.
Seperti yang telah disebutkan diatas
mengenai saluran tuba Eustachius pada anak dan bayi, ada beberapa faktor lain
yang menyebabkan mengapa pada anak dan bayi lebih sering mengalami OMA, yaitu :
1. Sistem kekebalan tubuh anak yang
masih dalam tahap perkembangan.
2.
Adenoid
( salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan
tubuh ) pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid
berdekatan dengan muara saluran Eustachius sehingga adenoid yang besar dapat
mengganggu terbukanya saluran Eustachius. Selain itu adenoid sendiri dapat
terinfeksi di mana infeksi tersebut kemudian menyebar ke telinga tengah lewat
saluran Eustachius.
D.
Manifestasi
Klinis
Pada perjalan penyakit otitis media
akut yang biasa, gejala yang timbul dalam beberapa hari berupa otalgia, demam,
tidak enak menyeluruh dan kehilangan pendengaran. Pada bayi, gejalanya kurang
dan dapat berupa iritabilitas, diare, muntah atau malise. Munculnya gejala
klinik ini biasanya diawali oleh infeksi saluran nafas atas beberapa hari atau
minggu sebelumnya.
Gejala klinis Otitis Media Akut ( OMA
) tergantung pada stadium penyakit dan umur pasien. Stadium Otitis Media Akut (
OMA ) berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah :
1. Stadium oklusi tuba Eustachius
Terdapat gambaran retraksi membran
timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah. Kadang berwarna normal
atau keruh pucat. Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar dibedakan dengan otitis
media serosa akibat virus atau alergi.
2. Stadium hiperemis ( Presupurasi )
Tampak pembuluh darah yang melebar
di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edema.
Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat serosa sehingga
sukar terlihat.
3. Stadium supurasi
Membrana timpani menonjol ke arah
telinga luar akibat edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya
sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani. Pasien
tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga bertambah
hebat. Apabila tekanan tidak berkurang, akan terjadi iskemia, tromboflebitis
dan nekrosis mukosa serta submukosa. Nekrosis ini terlihat sebagai daerah yang
lebih lembek dan kekuningan pada membran timpani. Di tempat ini akan terjadi
ruptur.
4. Stadium perforasi
Karena pemberian antibiotik yang
terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat terjadi ruptur membran
timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Pasien
yang semula gelisah menjadi tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.
5. Stadium resolusi
Bila membran timpani tetap utuh maka
perlahan-lahan akan normal kembali. Bila terjadi perforasi maka sekret akan
berkurang dan mengering. Bila daya tahan tubuh baik dan virulensi kuman rendah
maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan.
Otitis Media Akut ( OMA ) berubah
menjadi Otitis Media Supuratif Subakut bila perforasi menetap dengan sekret
yang keluar terus - menerus atau hilang timbul lebih dari 3 minggu. Disebut
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) bila berlangsung lebih 1,5 atau 2 bulan.
Dapat meninggalkan gejala sisa berupa Otitis Media Serosa bila sekret menetap
di kavum timpani tanpa perforasi.
Pada anak, keluhan utama adalah rasa
nyeri di dalam telinga dan suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat
batuk pilek sebelumnya. Pada orang dewasa, didapatkan juga gangguan pendengaran
berupa rasa penuh atau kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas
otitis media anak adalah suhu tubuh yang tinggi ( > 39,5 derajat celsius),
gelisah, sulit tidur, tiba-tiba menjerit saat tidur, diare, kejang, dan
kadang-kadang memegang telinga yang sakit. Setelah terjadi ruptur membran
tinmpani, suhu tubuh akan turun dan anak tertidur.
E. Komplikasi
1. Otitis
Media Kronis
Merupakan suatu peradangan kronis
selaput lendir telinga tengah dan mastoid dengan keluarnya cairan ( otorrhoe )
melalui kerusakan di gendang telinga sentral. Kadang-kadang sebagai akibat OMA
yang tidak sembuh (lebih lama dari tiga minggu). Kadang-kadang penyakit ini
merupakan suatu gangguan tersendiri, yaitu terjadi otore akibat infeksi dari
luar melalui suatu kerusakan gendang telinga yang sudah ada sebelumnya.
Gangguannya cenderung akan terus terulang kembali.
Otitis media kronik dengan kolesteatoma atau benjolan mutiara disebabkan oleh pertumbuhan kulit liang telinga atau lapisan epitel gendang telinga yang masuk ke telinga tengah atau mastoid.
Otitis media kronik dengan kolesteatoma atau benjolan mutiara disebabkan oleh pertumbuhan kulit liang telinga atau lapisan epitel gendang telinga yang masuk ke telinga tengah atau mastoid.
2. Perforasi
gendang telinga
Suatu bentuk otitis media dapat
menyebabkan kerusakan pada gendang telinga atau rangkaian tulang pendengaran.
Perforasi gendang telinga sering berbentuk ginjal dan letaknya di kedua kuadran
bawah. Suatu perforasi selaput gendang telinga disebut sentral bila dikeliling
cacatnya masih ada gendang telinga. Suatu perforasi disebut marginal apabila
sebagian cacatnya berbatasan dengan liang telinga. Melalui perforasi marginal,
epitel kulit tumbuh ke dalam telinga tengah dan terbentuklah kolesteatoma.
Suatu perforasi gendang telinga
hanya menambah resiko untuk terulangnya radang telinga tengah. Pada umumnya
pasien dengan perforasi gendang telinga disarankan untuk mencegah masuknya air
ke dalam telinga. Terutama sabun dan shampoo yang menurunkan tegangan
permukaan, dapat mengakibatkan otore berulang.
3. Timpanosklerosis
Timpanosklerosis kemungkinan besar disebabkan oleh radang telinga tengah berulang berkali - kali yang kadang - kadang berlangsung tanpa gejala. Setelah sembuh dari peradangan, akan mengendap garam kapur ( kalkzouten ) di gendang telinga, selaput lender promontorium, atau di selaput lendir di sekitar rangkaian tulang - tulang pendengaran. Endapan garam kapur di dalam jaringan ikat hyalin disebut timponosklerosis.
Timpanosklerosis kemungkinan besar disebabkan oleh radang telinga tengah berulang berkali - kali yang kadang - kadang berlangsung tanpa gejala. Setelah sembuh dari peradangan, akan mengendap garam kapur ( kalkzouten ) di gendang telinga, selaput lender promontorium, atau di selaput lendir di sekitar rangkaian tulang - tulang pendengaran. Endapan garam kapur di dalam jaringan ikat hyalin disebut timponosklerosis.
4. Atrofi dan
atelektasis
Karena tekanan rendah di dalam
telinga tengah yang kronis, selain kolesteatoma, dapat pula strofi gendang
telinga. Gendang telinga yang mengalami atrofi akan tertarik ke dalam akibat
rendahnya tekanan dan lama - kelamaan timbul perlekatan ke dinding medial kavum
timpani, sehingga terjadi atelektasis. Atelektasis dapat merusak tulang pada
rangkaian tulang pendengaran.
5. Mastoiditis
akut
Mastoiditis merupakan suatu osteitis
pada system sel mastoid. Di Indonesia, mastoiditis masih sering dijumpai kalau
pemeliharaan kesehatan kurang baik. Hal ini dipandang sebagai komplikasi dari
otitis media akut atau kronis. Gambaran klasik terdiri dari otitis media dengan
edema perios dan kulit liang telinga, dengan akibat dinding belakang terdesak
ke depan. Karena ada edema di belakang telinga setinggi antrum, kulit setempat
menjadi tebal dan merah, sehingga daun telinga terdesak ke depan bawah. Ada
nyeri tekan di tempat tersebut dan sering juga di ujung mastoid.
6. Paresis
dan paralisis n. Fasialis
Paresis n.fasialis kadang-kadang
didapatkan karena adanya kolesteatoma di sekitar n.fasialis. saluran tulang
n.fasialis rusak sehingga menekan saraf. Beberapa kali keadaan ini tampak
sebagai komplikasi OMA.
F. Patofisiologi
Otitis media
sering diawali dengan infeksi pada saluran napas (ISPA) yang disebabkan oleh bakteri,
kemudian menyebar ke telinga tengah melewati tuba eustachius. Ketika bakteri
memasuki tuba eustachius maka dapat menyebabkan infeksi dan terjadi
pembengkakan, peradangan pada saluran tersebut.
Proses
peradangan yang terjadi pada tuba eustachius menyebabkan stimulasi kelenjar
minyak untuk menghasilkan sekret yang terkumpul di belakang membran timpani.
Jika sekret bertambah banyak maka akan menyumbat saluran eustachius,sehingga
pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang osikel ( maleus,
incus, stapes ) yang menghubungkan telinga bagian dalam tidak dapat bergerak
bebas.
Selain
mengalami gangguan pendengaran, klien juga akan mengalami nyeri pada telinga. Otitis
media akut (OMA) yang berlangsung selama lebih dari dua bulan dapat berkembang
menjadi otitis media supuratif kronis apabila faktor higiene kurang
diperhatikan, terapi yang terlambat, pengobatan tidak adekuat, dan adanya daya
tahan tubuh yang kurang baik.
G. Pathway
Infeksi sekunder (ISPA) Trauma, benda asing
Bakteri streptococcus,
Hemophylus Influenza ruptur
gendang telinga
Invasi
bakteri
Infeksi
telinga tengah
(kavum timpani, tuba eustachius)
Proses peradangan peningkatan produksi tekanan
udara pd pengobatan t’
cairan
serosa telinga tengah (-) tuntas / episode
berulang
Nyeri
|
nyeri akumulasi cairan retraksi membran infeksi berlanjut
mukus dan serosa tympani dpt sampai ke
telinga
dalam
ruptur
membran hantaran suara/ terjadi erosi pd merusak
tulang
tympani krn desakan
udara yg diterima kanalis semi krn adanya epitel
menurun sirkularis skuamosa didlm
rongga telinga tengah
Ggn persepsi sensori pendengaran
|
sekret
keluar dan Gg persepesi pening/vertigo tindakan operasi
berbau
tdk enak sensori keseimb.
Tbh mastoidektomi
(otorrhoe) pendengaran menurun
Ggn konsep diri
|
Resiko infeksi
|
Resiko injury/ trauma
|
Ggn
body image resiko
injury/ resiko infeksi
trauma
H.
Penatalaksanaan
Terapi tergantung pada penyebab
bakteria penyakit dan pada hasil uji kerentanan antibakteria. Organisme
penginfeksi yang paling lazim pada otitis media akut adalah Streptococcus
pneumoniae . Dua patogen utama berikutnya adalah Haemophillus inflenzae tetapi
tidak dapat ditipe dan Moraxella catharralis. Berbagai bakteria lain menyebabkan
sebagian kecil sisa infeksi.
Ini dapat meliputi bakteria
gram-positif maupun gram-negatif. Pada neonatus umur di atas 2 minggu, S.
pneumoniae dan H. Influanzae terus merupakan organisme penginfeksi yang paling
lazim. Namun, pada bayi umur kurang dari 2 minggu atau mereka yang masih
dirawat inap, bakteri gram-negatif, Staphylococcus aureus , dan Streptococcus grup
B menjadi lebih lazim.
Terapi bergantung pada stadium
penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi
saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik,
dan antipiretik.
Stadium Oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba Eustachius
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung
HCl efedrin 0,25 % untuk anak < 12 tahun atau HCl efedrin 0,5 % dalam
larutan fisiologis untuk anak diatas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi lokal
harus diobati. Antibiotik diberikan bila penyebabnya kuman.
Stadium
Presupurasi
Diberikan antibiotik, obat tetes
hidung dan analgesik. Bila membran timpani sudah terlihat hiperemis difus,
sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan
penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi
dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin
intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi
mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.
Stadium
Supurasi
Selain antibiotik, pasien harus
dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga
gejala cepat hilang dan tidak terjadi rupture.
Stadium
Perforasi
Terlihat sekret banyak keluar,
kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari
serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan
perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.
Stadium
Resolusi
Membran timpani berangsur normal
kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak, antibiotik
dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila tetap, mungkin telah terjadi
mastoiditis.
Amoksisilin oral adalah pilihan awal
bila organisme penyebab belum diketahui karena biasanya efektif terhadap
bakteri yang paling lazim ditemukan. Obat ini diberikan 40 mg/kg/24 jam tiga
kali sehari selama 10 hari. Namun, hampir semua M. Catharralis dan 25%
H.influenzae resisten terhadap amoksisilin. Lagipula, makin bertambahnya insiden
resisten penisilin telah ditemukan pada S.pneumoniae, dan S.pneumoniae resisten
yang bermuktiplikasi telah diidentifikasi di seluruh dunia. Ada juga
kekhawatiran karena semakin bertambahnya insiden S.pneumoniae resisten
bermiltiplikasi akibat sering mneggunakan antibiotik pada anak berkontak fisik
dekat,seperti pada pusat perawatan anak. Karenanya pada peda penderita yang
baru minum amoksisilin atau yang hidup di daerah dengan insiden resisten yang
ditengahi β-laktamase tinggi, ada berbagai antibiotik lain yang tersedia untuk
mengobati otitis media akut pada anak. Agen ini bervariasi dalam kemanjuran
untuk setiap bakteri juga dalam rasa maupun harga.
Jika otitis media tidak tampak
berespons terhadap antibiotik, adalah beralasan untuk memindah ke kelas obat
yang lain. Jika ada penjelekan klinis atau jika ada kemungkinan organisme
persisten (penderita imunosupresi, berkali – kali mendapat antibiotik
sebelumnya) harus dilakukan timpanosentesis unruk mengidentifikasi organisme
penginfeksi.
Bila organisme yang resisten
dibiakkan dari aspirat telinga tengah atau dari otorea, atau bila penderita
gagal membaik secara klinis sesudah pengobatan amoksisilin awal (mungkin karena
bakteri resisten ampisilin) dan jika timpanosentesisi atau miringotomi tidak
dilakukan, agen antibiotik awal hatus diganti. Pilihan yang tepat dapat berupa
eritromisin (50 mg/kg/24 jam) bersama dengan sulfonamid (100 mg/kg/24 jam
trisulfa atau 150 mg/kg/24 jam sulfisoksazol) empat kali sehari.
Trimetoprim-sulfametoksazol (8 dan 40 mg/kg/24 jam) dua kali sehari sefaklor
(40 mg/kg/24 jam) tiga kali sehari, amoksisilin-klavulanat (40 mg/kg/24 jam)
tiga kali sehari, sefuroksim aksetil (125-250 mg/kg/24 jam) dua kali sehari,
atau sefiksim (8 mg/kg/24 jam) sekali atau dua kali sehari.
Jika penderita alergi terhadap
penisilin, kombinasi eritromisin oral dan tripel sulfonamid atau sulfisoksazol
merupakan alternatif. Gabungan trimetoprim-sulfametoksazol merupakan dapat juga
diberikan pada mulanya pada individu sensitif penisilin, tetapi keefektifannya
dalam mengobati potitis media kaut yang disebabkan oleh Staphylococcus pyogenes
dan strain resisten S.pneumoniae adalah belum pasti. Kombinasi sulfonamid
mempunyai angka efek samping yang amat merugikan, yang pada kesempatan yang
jarang adalahserius dan bahkan mematikan. Pemberian sefaktor telah mengakibatkan
reaksi tipe penyakit serum.
Terapi suportif tambahan, termasuk
analgesik, antipiretik, dan panas lokal, biasanya membantu. Meperidin
hidroklorida dapat juga diperlukan sedasi. Dekongestan oral, misalnya
pseudoefedrin hidrolorida, dapat melegakan kongesti hidung dan antihistamin
dapat membantu penderita dengan alergi hidung yang diketahui atau yang
dicurigai. Namun kemanjuran antihistamin dan dekongestan pada pengobatan otitis
media akut belum ditegakkan.
Pada penderita dengan nyeri telinga
berat yang luar biasa, miringotomi dapat dilakukan pada mulanya untuk memberi
kelegaan segera. Bila drainase terapeutik diperlukan, pisau miringotomi harus
digunakan dan insisi dibuat cukup besar untuk memungkinakan drainase telinga
tengah yang cukup.
Jika manifestasi klinis infeksi akut
penderita bertambah selama 24 jam pertama meskipun dengan terapi antibiotik
harus dicurigai infeksi bersama seperti meningitis atau komplikasi otitis media
supuratifa. Anak harus diperiksa ulang dan timpanosentetis serta miringotommi
dilakukan. Sama halnya jika penderita berlanjut menderita nyeri, demam, atau
keduanya yang lumayan sesudah 24-48 jam, timpanosentesis dan miringotomi harus
dilakukan sebagai prosedur diagnostik dan terapeutik ; identifikasi organisme
yang sering resisten dalam masyarakat harus diberikan.
Semua penderita harus dievaluasi
ulang sekitar 2 minggu sesudah pemberian pengobatan, pada saat ini harus ada
bukti penyembuhan otoskopik, seperti pengurangan radang dan pengembalian
mobilitas membrana timpani. Pemantauan periodik terindikasi pada penderita yang
telah mengalami episode kumat.
Miringotomi
Miringitomi adalah tindakan insisi
pada pars tensa membran timpani agar terjadi drainase sekret dari telinga
tengah ke telinga luar. Tindakan bedah kecil ini harus dilakukan a vue (lihat
langsung), pasien harus tenang dan dikuasai. Lokasi insisi di kuadran posterior
inferior.
Operator harus memakai lampu kepala
dengan sinar yang cukup terang, corong telinga yang sesuai, serta pisau :
parasentesis yang kecil dan steril. Dianjurkan untuk melakukannya dengan
narkosis umum dan memakai mikroskop. Bila pasien mendapat terapi yang adekuat,
miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali bila jelas tampak adanya nanah di
telinga tengah.
Komplikasi yang mungkin terjadi
adalah perdarahan akibat trauma liang telinga luar, dislokasi tulang
pendengaran, trauma pada fenestra rotundum, trauma nervus fasialis, dan trauma
pada bulbus jugular.
Pencegahan :
-
Beberapa
hal yang dapat mengurangi risiko OMA adalah:
-
Pencegahan
ISPA pada bayi dan anak-anak
-
Pemberian
ASI minimal selama 6 bulan
-
Berikan
vaksinasi teratur
-
Berikan
makanan sehat, cukup dan bergizi.
-
Jaga
sanitasi lingkungan.
I. Pemeriksaan
Diagnostik
Umum : Melihat keadaan pasien apakah pasien
dalam keadaan sadar atautidak. Melakukan pemeriksaan tanda vital, seperti
tekanan darah, suhu, nadi, frekuensi pernapasan.
Pemeriksaan telinga : alat yang
diperlukan adalah lampu kepala, corong telinga, otoskop, pelit kapas, pengait
serumen, pinset telinga dan garputala.
Pasien duduk dengan posisi badan
congdong sedikit ke depan dan kepala lebih tinggi sedikit dari kepala pemeriksa
untuk memudahkan melihat liang telinga dan membran timpani.
Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk
telinga, daerah belakang daun telinga (retro-aurikular) apakah terdapat
peradangan atau sikatriks bekas operasi. Dengan menarik daun telinga ke atas
dan ke belakang, liang telinga menjadi lebih lurus dan akan mempermudah untuk
melihat keadaan liang telinga dan membran tympani. Otoskop dipegang dengan
tangan kanan untuk memeriksa telinga kanan pasien dan tangan kiri bila
memeriksa telinga kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil maka jari kelingking
tangan yang memegang ototskop ditekan pada pipi pasien.
Bila terdapat serumen dalam liang telinga yang menyumbat maka serumen ini harus dikeluarkan. Jika konsistensinya cair dapat dengan kapas yang diliatkan, bila konsistensinya lunak dapat dikeluarkan dangan pengait. Jika serumen ini sangat keras dan menyumbat seluruh liang telinga maka lebih diencerkan dulu dengan minyak.
Bila terdapat serumen dalam liang telinga yang menyumbat maka serumen ini harus dikeluarkan. Jika konsistensinya cair dapat dengan kapas yang diliatkan, bila konsistensinya lunak dapat dikeluarkan dangan pengait. Jika serumen ini sangat keras dan menyumbat seluruh liang telinga maka lebih diencerkan dulu dengan minyak.
Uji pendengaran : dilakukan dengan memakai
garputala dan hasil dari pemeriksaan dapat diketahui jenis ketulian apakah tuli
konduktif atau tuli perseptif.
Uji Rinne : dilakukan dengan menggetarkan garputala 512 Hz
dengan jari atau mengetukkannya pada siku atau lutut pemeriksa. Kaki garputala
tersebut diletakkan pada tulang mastoid telinga yang diperiksa selama 2-3
detik. Kemudian dipindahkan ke depan liang telinga selama 2-3 detik ditempat
mana yang lebih keras. Bila bunyi terdengar lebih keras bila garputala
diletakkan didepan liang telinga berarti telinga yang diperiksa normal atau
menderita tuli sensorineural. Keadan seperti ini disebut tes Rinne (+). Bila
bunyi yang terdengar lebih keras ditulang mastoid, maka telinga yang diperfiksa
menderita tuli konduktif dan biasanya lebih dari 20 dB. Keadaan ini disebut tes
Rinne (-).
Uji weber : dilakukan dengan meletakkan kaki pelana yang telah
digetarkan pada garis tengah wajah atau kepala. Ditanyakan pada pasien di
telinga mana yang terdengar lebih keras. Pada keadaan normal pasien mendengar
suara ditengah atau tidak dapat membedakan telinga mana yang mendegar lebih
keras. Bila pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sehat (lateralisasi
ke telinga yang sehat) berarti telinga yang sakit menderita tuli sensorineural.
Telinga yang sakit lateralisasi ke telinga yang sakit berarti telinga yang
sakit menderita tuli konduktif.
Penunjang :
Timpanometri
Audiometri
hambatan telah dianggap semakin penting artinya dalam rangkaian pemeriksaan
audiologi. Timpanometri merupakan alat pengukur tak langsung dari kelenturan
(gerakan) membrana timpani dan sistem osikular dalam berbagai kondisi tekanan
positif, normal, atau negatif. Energi akustik tinggi dihantarkan pada telinga melalui
suatu tabung bersumbat, sebagian diabsorpsi dan sisanya dipantulkan kembali ke
kanalis dan dikumpulkan oleh saluran kedua dari tabung tersebut. Satu alat
pengukur pada telinga normal memperlihatkan bahwa besar energi yang dipantulkan
tersebut lebih kecil dari energi insiden. Sebaliknya bila telinga terisi
cairan, atau bila gendang telinga menebal, atau sistem osikular menjadi kaku,
maka energi yang dipantulkan akan lebih besar dari telinga normal. Dengan
demikian jumlah energi yang dipantulkan makin setara dengan energi insiden.
Hubungan ini digunakan sebagai sarana pnegukur kelenturan.
Timpanogram adalah suatu penyajian
berbentuk grafik dari kelenturan relatif sistem timpanoosikular sementara
tekanan udara liang telinga diubah – ubah. Kelenturan maksimal diperoleh pada
tekanan udara normal dan berkurang jika tekanan udara ditingkatkan atau
diturunkan.
Audiometri Nada Murni
Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan audiometer dan hasil pencatatanya disebut sebagai audiogram. Dapat
dilakukan pada anak berusia lebih dari 4 tahun yang koperatif. Sebagai sumber
suara digunakan nada murni yaitu bunyi yang hanya terdiri dari 1frekuensi.
Pemeriksan dilakukan di ruang kedap suara, dengan menilai hantaran suara
melalui udara (air conduction) melalui headphone pada frekuensi 125,
250,5000,1000,2000,4000, dan 8000 Hz. Hantaran suara melalui tulang (bone
conduction) diperiksa dengan memasang bone vibrator pada prosesus mastoid yang
dilakukan pada frekuensi 500,1000,2000,4000 Hz. Intesitas yang biasa digunakan
antara 10-100 dB secara bergantian pada kedua telinga. Suara dengan intensitas
terendah yang dapat didengar dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi
tentang jenis dan derajat ketulian.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1.
Anamnesa
Anamnesis dimulai dengan menanyakan identitas, keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit
keluarga. Kemudian kita menanyakan tentang penyakit yang berhubungan pada kasus.
Pada kasus ottitis media akut sakit telinganya muncul disebabkan oleh apa?
Apakah sering korek telinga? Biasanya pada anak didahuli dengan gejala ISPA, kita
juga perlu menanyakan bagaimana sifat dan beratnya keluhan yang
disampaikan pasien kepada dokter. Kapan dan bagaimana mulanya, bagaimana
perjalanannya (bertambah, berkurang, tetap, terjadi sebentar-sebeh, berkurang,
tetap, terjadi sebentar-sebentar, naik-turun), berapa lamanya (akut, subakut,
kronis), dan bagaimana frekuensinya. Kemudian dicari keterangan tentang keluhan
dan gejala lain yang terkait.
Setelah itu, pasien ditanyakan mengenai keluhan pada telinga
:
-
Kurang
pendengaran : kanan atau kiri, nada tinggi atau nada rendah atau seluruh nada,
mengerti pembicaraan, lebih terganggu di tempat sunyi atau di tempat ramai,
kelainan kongenital, masalah kehamilan, masalah perinatal, hubungan keluarga,
eksposisi-suara, pemakaian obat-obat ototoksik, trauma kapitis, radang telinga,
meningitis, penyakit lain (gondongan, campak, influenza).
-
Nyeri
telinga : kanan atau kiri, dalam atau sekitar telinga, rasa tertekan, gatal.
-
Cairan
yang keluar : kanan atau kiri, aspek (serosa, mucus, purulen, berdarah),
jumlahnya, penyebab, berbau.
-
Telinga
berdenging : kanan atau kiri, nada tinggi atau rendah, sinkron dengan denyut
nadi. Akhirnya, selalu ditanyakan kemungkinan penyakit lain yang diderita
pasien, pemakaian obat-obatan, penyakit yang lalu, pembedahan.
B. Diagnosa
Keperawatan
1. Nyeri b/d proses peradangan pada
telinga
2. Resiko infeksi b/d tidak adekuatnya pengobatan
3. Resiko injury b/d keseimbangan tubuh
menurun
4. Gangguan persepsi sensori
pendengaran b/d gangguan penghantaran bunyi pada organ pendengaran
5. Gangguan konsep diri b/d sekret yang
keluar dan berbau
C. Intervention
1.
Dx. 1 Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada
telinga
Tujuan :
Nyeri berkurang atau hilang
Intervensi :
-
Beri posisi nyaman, dengan posisi nyaman dapat
mengurangi nyeri.
-
Kompres panas di telinga bagian luar, untuk mengurangi
nyeri.
-
Kompres dingin, untuk mengurangi tekanan telinga (edema)
-
Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik
-
Alihkan perhatian klien dengan menggunakan teknik –
teknik relaksasi : distraksi, imajinasi terbimbing, touching, dll.
-
Kaji kembali nyeri yang dirasa oleh klien setelah 30
menit pemberian analgetik
2. Dx. 2 Resiko
infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan
Tujuan : Tidak terjadi tanda - tanda infeksi.
Intervensi :
-
Kaji tanda - tanda perluasan infeksi, mastoiditis,
vertigo, untuk mengantisipasi perluasan lebih lanjut.
-
Jaga kebersihan pada daerah liang telinga, untuk
mengurangi pertumbuhan mikroorganisme.
-
Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa atau terlalu
keras (sisi), untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke
telinga tengah.
-
Kolaborasi pemberian antibiotik.
3. Dx. 3 Resiko
injury berhubungan dengan keseimbangan tubuh menurun
Tujuan : Tidak terjadi injury atau perlukaan
Intervensi :
-
Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat
makan, meminimalkan anak agar tidak jatuh
-
Pasang restraint pada sisi tempat tidur, meminimalkan
agar klien tidak jatuh.
-
Jaga klien saat beraktivitas, meminimalkan agar klien
tidak jatuh.
-
Tempatkan perabot teratur, meminimalkan agar klien
tidak terluka.
4. Dx. 4
Gangguan persepsi sensori pendengaran b/d Gangguan penghantaran bunyi pada
organ pendengaran.
Tujuan : Persepsi sensori baik, memperbaiki komunikasi
Intervensi :
-
Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat
pendengaran secara tepat
-
Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik
yang aman dalam perawatan telinga (seperti : saat membersihkan dengan
menggunakan cutton bud secara hati-hati, sementara waktu hindari berenang
ataupun kejadian ISPA) sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.
-
Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang
lanjut.
-
Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis
antibiotik yang diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).
5. Dx. 5
Gangguan konsep diri b/d sekret yang keluar dan berbau.
Tujuan : pengeluaran sekret berhenti
Intervensi :
-
Masukkan tampon yang mengandung antibiotik kedalam
liang telinga
-
Berikan kompres rivanol
-
Lakukan irigasi telinga dan keluarkan serumen atau
sekret
-
Hindari kritik negatif
-
Berikan informasi yang adekuat kepada klien.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Otitis media adalah peradangan
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid
yang biasanya disebabkan oleh bakteri atau virus yang terjadi kurang dari 3
minggu.
Penyebab
utama dari OMA adalah tersumbatnya saluran atau tuba eustachius yang bisa disebabkan
oleh proses peradangan akibat infeksi bakteri yang masuk ke dalam tuba
eustachius tersebut, kejadian ISPA yang berulang pada anak juga dapat menjadi
faktor penyebab terjadinya OMA pada anak.
Stadium OMA
dapat terbagi menjadi lima stadium, antara lain : Stadium Oklusi, Presupurasi,
Supurasi, Perforasi, dan Stadium Resolusi. Dimana manifestasi dari OMA juga
tergantung pada letak stadium yang dialami oleh klien. Terapi dari OMA juga
berdasar pada stadium yang dialami klien. Dari perjalanan penyakit OMA, dapat
muncul beberapa masalah keperawatan yang dialami oleh klien, antara lain :
nyeri, resiko infeksi, resiko injury, gangguan persepsi sensori, dan gangguan
konsep diri.
B. Saran
Kami menyadari dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan dan belum mencapai seluruh aspek. Oleh
karena itu kami menyarankan agar pembaca dapat mencari reverensi – reverensi
dari buku – buku lain yang juga mendukung dalam Asuhan Keperawatan pada Otitis
Media Akut ini.
DAFTAR PUSTAKA
-
Betz, Cecily L. Buku Saku Keperawatan Pediatri edisi
3, Jakarta. EGC. 2002
-
Ludman, Harold, MB, FRCS. Petunjuk Penting pada
Penyakit THT. Jakarta. Hipokrates. 1996
-
Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah edisi 8. Jakarta. EGC. 2001
No comments:
Post a Comment